Minggu, 25 Mei 2008

kebangkitan Nasional

Hampir satu abad yang lalu hingga dewasa ini (tepatnya pada bulan Mei) banyak peristiwa penting yang menjadi catatan sejarah. Mulai hari buruh internasional (1 Mei), hari Pendidikan Nasional (2 Mei), hari Lembaga Sosial Desa (5 Mei), hari Palang Merah Internasional (8 Mei), hari POM TNI (11 Mei), disusul dengan tragedi berdarah Trisakti (12 Mei), kemudian hari Buku Nasional (17 Mei), dan yang terakhir adalah hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Namun dari serangkaian rajutan benang sejarah dia atas, hanya beberapa saja yang ajeg dan kontinu diperingati oleh sebagian besar masyarakat, salah satunya adalah momentum Kebangkitan Nasional.

Dalam beberapa pengertian yang di ada di kamus standar, Kebangkitan Nasional ditafsiri sebagai masa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya tidak pernah muncul selama penjajahan yang hampir menghabiskan waktu sekitar tiga setengah abad.

Dimulai dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, hampir satu abad yang lalu. Pergerakan nasional ini diprakarsai oleh Dokter Soetomo di Jakarta. Dengan dorongan dilahirkannya Boedi Oetomo ini, kemudian lahirlah Sarekat Islam, di tahun 1912, di bawah pimpinan Haji O.S. Tjokroaminoto bersama Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Dalam tahun 1912 itu lahir pula satu gerakan politik yang amat penting, yaitu Indische Partij yang dimpimpin oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1913, partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya ditangkapi dan kemudian dibuang dalam pengasingan.

Namun, terlepas dari hal tersebut diatas, realita saat ini tidaklah demikian. Penulis merasakan aroma ketidak pedulian masyarakat terhadap ruang sejarah publik yang seharusnya dapat dikeruk manfaatnya. Betapa tidak, coba saja tenggok tanggal 2 Mei kemarin yang bertepatan dengan hari Pendidikan Naional. Momentum ini hanya diperingati secara seremonial saja tanpa ada implementasi kritis yang terus berkesinambungan. Akibatnya nasib pendidikan di Indonesia ini amatlah mengenaskan.

Tidak usah terlalu jauh mengkomparasikan kondisi pendidikan di Indonesia dengan negara lain. Penulis yakin, lokomotif akal, budi, dan nurani kita masih dapat melaju dengan baik. Lihat saja penderitaan yang dirasakan Pak Mahmud yang bekerja sebagai seorang guru. Sebagaimana yang disiarkan stasiun TV beberapa hari yang lalu, ia cuma menerima gaji sebesasar Rp 400.000 dari hasil kerjanya. Padahal, di kota seperti Jakarta bea hidup amatlah tinggi. Dengan modal materi yang jauh dari cukup ia mencoba untuk menghidupi istri dan anaknya. Mau tidak mau, akhirnya pahlawan tanpa tanda jasa ini nyambi jadi pemulung untuk mempertahankan supaya dapur rumah tetap mengepul.

Belum lagi sekolah-sekolah yang tidak layak pakai. Seperti sekolah-sekolah yang kurang mempunyai sarana penunjang. Padahal jika menengok amanat subsidi dari pemerintah yang sudah dicanangkan untuk anggaran pendidikan adalah sebesar 20% dari APBN, namun yang terealisasi hanyalah sebesar 9%. Bandingkan dengan prosentase hutang ke luar negeri sebanyak 30% dari APBN.

Sejatinya bukan hanya pendidikan yang bernasib sial dan mengenaskan. Tubuh ekonomi juga merasakan hal yang sama. Misalnya, harga BBM yang terus menaikkan harga, tersendatnya pasokan bensin ke sejumlah SPBU di Pandeglang makin meresahkan. Selain sulit didapat, harga di tingkat pengecer melambung hingga Rp 10.000/liter (Jawa Pos, Sabtu, 19 Mei 2007). Beras, minyak tanah, dan barang pokok lainnya juga demikian. Beberapa hari yang lalu, minyak goreng juga ikut-ikutan memasang harga yang tidak murah. Dari harga yang mulanya hanya Rp 5.000-an/kg sekarang menjadi Rp 8.000/kg, bahkan beberapa waktu yang lalu sempat melonjak hingga Rp 8.300/kg (Seputar Indonesia, 17 mei 2007).

Bait-bait revolusi yang kerap di kumandangkan mahasiswa;“Tempat Padi Terhampar, Samuderanya Kaya Raya, Tanah Kami Subur Tuhan” belum terbukti keampuhannya. La wong busung lapar masih populer di negeri ini, pun juga dengan impor beras masih terus berjalan lancar tanpa hambatan.

Belum lagi masalah kesehatan yang amat memperihatinkan. Dewasa ini masalah demam berdarah belum juga usai. Korban jatuh sakit dan meninggal akibat penyakit demam berdarah dengue diakui meningkat hingga sekitar dua kali lipat jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu di wilayah Kabupaten Malang (Kompas, Sabtu, 19 Mei 2007).

Dengan berbekal seabrek pengalaman sejarah yang tidak hanya menginjak harga diri siapapun, sudah saatnya kita sebagai salah satu dari komponen masyarakat Indonesia mulai berbenah diri dan bersatu guna membangun kembali negara yang sudah tidak ada lagi pondasinya. Oleh karena itu, mari kita intropeksi diri secara totalitas sehingga kita mempunyai suatu kesadaran ruang, posisi, dan moral yang balance.

Namun hal lain yang perlu mendapatkan sentuhan lebih adalah masalah pendidikan. Bagaimanapun juga, indikasi yang paling dominan untuk menunjukkan suatu peradaban maju dari sebuah bangsa adalah ketika sektor pendidikannya berkualitas lebih. Oleh karena itu bersama momen Kebangkitan Nasional ini marilah kita bersama-sama menjadi salah satu bagian dari orang-orang yang memiliki kesadaran ruang, posisi, dan moral yang tinggi sehingga Indonesia benar-benar bangkit menjadi bangsa yang bersahaja, sentosa, adil dan makmur. Amien!

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More