Minggu, 03 Agustus 2008

Arsitektur Tradisional Minangkabau : BENTUK DAN BUDAYA SALING BERKAIT


Arsitektur Tradisional Minangkabau : BENTUK DAN BUDAYA SALING BERKAIT


Bangsa Indonesia terkenal akan ragam budaya dan etnisnya, tentunya lengkap dengan segala atribut kebudayaannya. Sementara kelestarian semakin sering dudengungkan orang banyak, namun dilain pihak banyak pula yang - sadar ataupun tidak - tidak mempedulikan kelestarian itu. Sebut saja contoh jelas, rumah rumah tradisional. Termasuk rumah tradisional Minangkabau di daerah Sumatra Barat, keberadaannya perlu diperhatikan, kalau memang kita menginginkan bangunan tersebut tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita kelak.



Bangunan tradisional memang merupakan ciri bagi setiap daerah. Dari bangunannya dapat diketahui identitas daerah-daerah tersebut, karena itu wajar saja bila bangunan-bangunan khas itu perlu dilestarikan. Namun dipihak lain, para penghuni bangunan-bangunan itu mungkin saja memiliki suatu keinginan untuk mengganti rumah tuanya dehgan bangunan baru yang modern, bila keadaan memungkinkan. Tentunya, hal ini dapat dimengerti mengingat mereka juga ingin menikmati pembangunan di zaman yang semakin canggih ini. Dan masalah ini tidak akan selesai begitu saja tanpa ada usaha-usaha dan semua pihak.



Hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya pengenalan terhadap bangunan-bangunan tersebut, sehingga keinginan untuk melestarikan semakin kuat dan mungkin dapat digunakan pula sebagai motifator bagi pemilik bangunan bangunan khas itu untuk juga menjaga bangunan-bangunan tradisionalnya

Ada mitos bahwa nenek moyang masyarakat Minang berasal dari seberang laut yang datang dengan menggunakan perahu. Berdasarkan beberapa penyelidikan manusia Minang berasal dari Asia yang datang pada sekitar tahun 200 SM dan hidup pada zaman batu dengan pola nomaden (berpindah-pindah ternpat). Gelombang berikutnya, orang orang Tonkin dari Asia Tenggara masuk ke Minang dengan membawa kebudayaan logam. Dan dari kebudayaan Tonkin ini, lahirlah kebudayaan Indonesia pada umumnya dan kebudayaan Minang pada khususnya. Demikian terus berkembang sampai Islam masuk pada sekitar abad 16. Sejak saat itulah, masyarakat Minang erat dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan hingga kini.

Budaya Minang memang khas, tak ubahnya ke-khas-an daerah-daerah lain ditanah air kita ini. Ada satu perbedaan sistim kemasyarakatan di Minang, yang tak ditemui didaerah lain. Sistem tersebut adalah garis keluarga yang menurut kepada garis Ibu atau dikenal dengan Matrilineal. Sistem ini demikian kuat melekat pada diri setiap masyarakat Minang, sampai berpengaruh pada susunan atau denah rumahnya.

Secara garis besar, sistem kekerabatan Minang dapat dibagi menjadi empat, yaitu Rumah, yang dikepalai oleh mamak rumah; kemudian Paruik, yang merupakan satu keluarga dan dibentuk oleh beberapa rumah. Ikatannya masih bersifat genealogis. Ketiga, adalah Kampuang yang dipimpin oleh penghulu kampung dan dibentuk oleh beberapa Paruik. Dan terakhir, adalah Suku yang dipimpin oleh kepala suku dan dibentuk oleh beberapa kampung. Disini terlihat adanya hirarkhi dalam sistem kekerabatan masyarakat Minang. Dalam suatu keluarga, segala urusan keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga itu, yang bertindak sebagai “ninik mamak” bagi keluarga tersebut. Tanggung jawab keluarga memang terletak pada seorang mamak atau saudara dari ibu. Dan seorang ayah dalam keluarga Minangkabau adalah termasuk keluarga lain dari istri dan anaknya. Demikian pula halnya dengan anak laki-laki termasuk keluarga lain dari keluarga ayahnya. Seorang laki-laki dirumah istrinya hanyalah sebagai “sumando” atau tamu yang dihormati. Dalam hal perkawinanpun, ada aturan aturan yang perlu diperhatikan. Pada masyarakat Minang yang ideal adalah perkawinan mereka yang bersaudara sepupu silang atau Exogarni Cross Cousin Marriage (ECCM), yaitu perkawinan mobreda” atau mother-brother daughter, perkawinan antara laki-laki dengan putri dari mamaknya. Dapat pula dijumpai perkawinan antara lak-laki dengan kemenakan atau anak saudara perempuan ayahnya. Selain itu, dalam budaya Minang dianggap layak bila seorang laki-laki mengawini salah seorang saudara perempuan dan almarhum istrinya atau dengan mengawini janda abangnya. Perkawinan semacam mi sangat dihormati dan dikenal dengan istilah “menyiliehkan” Hal lain adalah tidak dikenalnya mas kawin pada perkawinan dalam masyarakat Minang, melainkan dengan “uang jemputan”. Biasanya juga diadakan pertukaran benda lambang kedua keluarga yang dikenal dengan “batuka tando”, berupa cincin ataupun keris.

Hunian

Pada masyarakat Minang, pola permukiman secara makro atau perkampungan disebut “nagari”. Dan unsur-unsur pembentuknya antara lain adalah daerah taratak, yaitu daerah ladang dan hutan yang berada disekitar nagari dan menjadi sumber penghasilan seharii-hari. Kemudian daerah mukim, yaitu daerah permukiman yang memiliki pusat orientasi pada pusat nagari.

Pusat nagari biasanya terbentuk dari beberapa fungsi bangunan umum, seperti balai adat, tempat para pemuka adat mengadakan pertemuan guna memecahkan masalah besar, balai nagari, masjid dan pasar. Konsentrasi permukirnan secara naluri membentuk ruang-ruang yang mengapit daerah taratak sebagai daerah tempat mata pencarian sehari-hari. Secara keseluruhan, pola nagari Minang juga tergantung dari situasi tanah, tetapi tetap ada jalan utama dari rumah-rumah tersusun mengikuti jalan-jalan yang terbentuk. Susunan rumah, biasanya rnenghadap jalan, baik sejajar ataupun tegak lurus jalan. Terkadang ada pula yang rnenghadap matahari.

Secara rnikro, pola permukiman masyarakat Minang berdasarkan sistem pernerintaharinya disebut sebagai “Kampuang” atau kampung. Dan kampuang ini terdiri dari beberapa paruik, yang bisa diartikan satu kaum besar tapi masih ada pertalian darah. Kampung ini sering pula disebut sebagai jorong. Secara kelompok, dapat dibagi menjadi dua kelompok hunian. Kelompok hunian kecil, adalah satu keturunan seibu. Bila satu keluarga tidak memiliki ruang yang cukup untuk semua wanita didalam rumah itu, maka biasanya dibuat rumah baru diatas tanah keluarga. Rumah-rumah tersebut dapat saling berhadapan ataupun bersampingan. Rumah itu disebut sebagai rumah adat. Dan didepan rumah adat biasanya terdapat lumbung yang jumlahnya satu sampai tiga, tergantung tingkat ekonomi keluarga. Lumbung ini disebut “rangkiang” yang juga menjadi lambang status sosial keluarga.

Kelompok lain adalah kelompok hunian hesar. Kelompok ini dalam sistem kekerabatan disebut paruik, atau artinya perut, yaitu suatu keturunan yang lebih luas/besar dan pada keturunan langsung.

Biasanya kelompok paruik terdiri dari beberapa rumah adat. Secara tradisional masyarakat Minang tidak mengenal orientasi bangunan secara khusus. Bangunan-bangunan yang ada dibuat menyesuaikan dengan jalan, biasanya sejajar dengan arah jalan. Rumah lapis kedua biasanya membelakangi jalan dan rumah lapis ketiga berhadapan dengan rumah lapis kedua. Begitu seterusnya, tapi tergantung pula oleh kondisi tanah. Memang tanah di daerah Minangkabau terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi. Minangkabau yang terletak di propinsi Sumatera Barat berada pada tanah dengan ketinggian bervariasi, dari 2 meter sampai 927 meter diatas permukaan air laut. Ketinggian rata-rata sekitar 368 meter dari permukaan air laut.

Dalam hal rumah, masyarakat Minangkabau sangat erat kaitannya dengan adat. Fungsi rumahpun berbeda beda dan tergantung beberapa hal seperti, kedudukan orang yang membangun rumah itu terhadap keluarga atau sukunya, status tanah tempat rumah itu dibangun serta pengaruh lingkungan keluarga yang membangun tersebut. Dapat dikatakan ada dua jenis rumah, yaitu : rumah adat dan rumah gadang. Rumah adat merupakan rumah keluarga yang menampung segala kegiatan upacara-upacara adat dengan kelengkapannya. Sedangkan rumah gadang, walaupun bentuknya sama dengan rumah adat namun fungsinya lebih disesuaikan dengan kebutuhan keluarga, bukan untuk acara adat. Karena, untuk suatu rumah adat diperlukan persyaratan tertentu yang tidak sembarang orang dapat membuat rumah adat tersebut.

Unsur Tradisional

Tinjauan denah bagi rurnah tradisional Minang dapat dilihat pada rumah adatnya. Biasanya susunan denah dibuat simetris dengan tempat masuk pada bagian tengah arah sumbu memanjang. Jumlah ruangnya, disesuaikan dengan jumlah anak gadis atau wanita yang berdiam dirumah tersebut, namun tetap dibuat jumlah ruang yang ganjil karena memperhatikan kesan simetri tadi. Semua kamar didalam rumah memang diperuntukkan bagi wanita, dimana mereka dapat menerima suami pada malam hari. Sehingga tidak dikenal adanya kamar untuk laki-laki. Ruang duduk besar terletak dibagian muka untuk menerirna tamu dan tempat upacara adat. Ada semacam pengertian yang tersirat dari adanya ruang duduk besar ini, bahwa orang Minang sebenarnya sangat mengenal faham “demokrasi” yang diistilahkan sebagai “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Ruang ini pun digunakan untuk berbincang-bincang santai, bahkan perabotannyapun hampir tidak ada. Biasanya orang-orang duduk dibawah dengan beralaskan tikar, demikian pula pada waktu makan, duduk dibawah pula. ruang duduk dalam, untuk menunjang kegiatan pada ruang duduk besar.

Dapur biasanya terdapat pada belakang rumah, tidak menjadi satu dengan rumah. Namun bila ingin meletakkan dapur didalam rumah, mereka biasanya mengambil tempat pada ruang tengah belakang, persis pada sumbu entrance. Sedangkan kamar mandi pada rumah rumah adat biasanya diletakkan terpisah. Pada bagian samping kiri dan kanan, biasanya terdapat ruang khusus untuk duduk-duduk atau menenun bagi kaum wanita. Ruang ini biasanya disebut “anjuang” dan lantainya agak dinaikkan sedikit dari pada ruang tengah. Diruang inilah kaum wanita mengerjakan kerajinan tangan, apakah itu menenun, merajut, menyulam atau kegiatan lain. Dari kegiatan mereka inilah lahir kerajinan-kerajinan khas daerah yang memperkaya khasanah tradisional kita.

Atap Gonjong

Sebagaimana bangunan tradisional daerah lain, rumah minang juga mengenal kepala-badan-kaki pada bangunannya. Kepala yang ditunjukkan dengan atap memiliki bentuk khas, seperti mata gergaji terbalik dengan garis-garis pembatas melengkung dan menghadap keluar. Dari arah memendek tampak bentuk atap seperti segitiga sama kaki yang agak melengkung. Bentuk atap demikian disebut sebagai “gonjong” atau tajuk yang konon diambil dari bentuk dasar tanduk kerbau, dan kata Minangkabau (kabau artinya kerbau). Gonjong inilah yang merupakan lambang kebesaran adat. Pada setiap rumah adat, biasanya terdapat empat buah gonjong, tapi banyak pula yang menambahkan gonjong diatas setiap anjuang, sehingga jumlah gonjongnya menjadi enam. Rumah dengan enam gonjong itu yang dapat dinikmati di TMII, Jakarta.

Bahan untuk atap biasanya dipilih ijuk, mungkin untuk mendapatkan kemudahan pada waktu membentuk lengkungan. Lambat laun banyak yang mengganti atapnya dengan seng, bahkan kini dapat pula terlihat bangunan yang menggunakan atap gonjong dengan bahan penutup atap dari genteng.

Bagian badan adalah dinding rumah. Pada pertemuan antara atap dan badan rumah, terdapat “pagu” yang berfungsi sebagai tempat menyimpan barang yang jarang dipakai. Bahan plafond biasanya sama dengan bahan lantai, yaitu kayu (papan), dan dindingnya berlapis dua. Lapisan luar terbuat dan anyaman bambu “sasak bugih” dan dinding sebelah dalam menggunakan papan. Pada keluarga berada, dinding rumahnya banyak dihiasi ukiran atau ornament-ornamen beraneka warna. Memang warna di Minang cukup “berani”. ini terlihat tidak saja dari ornamen rumah, melainkan juga dan pakaian adatnya.



Bagian paling bawah adalah kaki, yang diwujudkan dengan kolong. Seluruh lantai rumah dinaikkan, sehingga terbentuklah kolong, sebagaimana biasanya bangunan tradisional kita. Ketinggian lantai dari tanah biasanya dicapai dengan tangga, dan kayu atau batu. Dan rumah-rumah tradisional yang masih banyak terdapat di desa-desa di Sumatera Barat ini berdiri cukup tinggi, bahkan ada yang bagian kolongnya dapat dimasuki orang dewasa tanpa harus membungkuk. Fungsi kolong ini hampir sama dengan kolong-kolong lain yaitu tempat menyimpan barang atau ternak. Biasanya kolong ini ditutup tapi tidak permanen. Kadang-kadang penutupnya diletakkan disebelah luar sehingga tidak tampak lagi bangunan berdiri diatas tiang.

Bangunan tradisional, bagaimanapun memiiki ciri khas. Ia perlu diperhatikan tidak saja untuk memperkaya khasanah budaya kita namun perlu pula untuk menunjukkan betapa bangsa kita yang begitu banyak ragamnya bisa tetap bersatu. hidup berdampingan bahkan saling membantu.

sumber:http://zulfikri.wordpress.com

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More