Kamis, 10 Juli 2008

Indonesia, Tirulah Spanyol dan Turki


Indonesia, Tirulah Spanyol dan Turki


Postur pemain sepakbola yang tinggi besar, tidak menjamin kesuksesan. Kesebelasan yang terpuruk di pertandingan awal, bukan berarti kehancuran. Kesuksesan Spanyol menjuarai Euro 2008 adalah bukti bahwa sepakbola bukan sekadar fisik, melainkan teknik dan kekompakan. Kehebatan Turki untuk bangkit dari kekalahan pertama, adalah bukti bahwa semangat pantang menyerah bisa menjadi kekuatan yang mematikan. Lantas apa hubungan kiprah kesebelasan Spanyol dan Turki bagi Indonesia?

Tinggi badan beberapa bintang Spanyol ternyata tidak berbeda jauh dengan pemain tim nasional Indonesia. Tengok saja, pemain terbaik Euro 2008 Xavi Hernandez dan top skor Euro 2008 David Villa cuma setinggi 170 sentimeter, sama dengan dengan Ponaryo Astaman dan Bambang Pamungkas. Pemain dunia lain yang berpostur rata-rata pemain Indonesia masih banyak, sebut saja Fabio Cannavaro, Carlos Tevez dan Roberto Carlos. Mudah-mudahan fakta ini menjadi pelecut bagi seluruh pemain Indonesia agar tidak minder jika berhadapan dengan kesebelasan yang memiliki postur tubuh tinggi.

Spanyol juga bukanlah negara yang solid. Latar belakang pendirian negara berbentuk kerajaan ini penuh dengan darah. Orang Catalan pernah mengalami penindasan yang dilakukan Jenderal Franco di masa lalu. Akibatnya hingga sekarang, orang Catalan menganggap dirinya bukan orang Spanyol. Jangan heran kalau setiap pertandingan klub asal Catalan Barcelona melawan klub ibukota Spanyol, Real Madrid, selalu berlangsung panas dan bahkan dikait-kaitkan dengan dendam masa lalu. Selain orang Catalan, etnis Basque juga menolak disebut bagian dari Spanyol. Hingga kini ada gerakan separatis Euskadi Ta Azkatasuna/ETA(Tanah Air dan Kebebasan Basque) yang terus berjuang untuk memerdekakan Basque. Klub yang berasal dari Basque adalah Athletic Bilbao.

Hebatnya, selama Piala Eropa 2008 berlangsung, seluruh rakyat Spanyol bersatu. Tengoklah kerjasama Xavi Hernandez dari Catalan bekerja sama dengan Fernando Torres berasal dari Madrid, yang berhasil menghasilkan gol kemenangan Spanyol dalam pertandingan final. Ya, persatuan dan kekompakan menjadi salah satu kunci kesuksesan Spanyol meraih gelar yang sudah dinanti sejak 44 tahun. Apa yang dialami Spanyol ini hampir dengan situasi di Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis. Rasanya, soal persatuan dan kesatuan Indonesia sedikit lebih baik dari Spanyol. Piala Asia 2007 lalu menunjukkan bahwa hampir seluruh rakyat Indonesia berada di belakang pemain tim nasionalnya.

Sementara itu, tidak ada yang mengira Turki lolos ke semifinal sejak dikalahkan Portugal. "Selama berkarier, saya tak pernah mengatakan menyerah dalam pertandingan. Berapa pun skor yang terjadi. Saya adalah orang yang tak pernah kehilangan harapan. Saya sering melihat banyak kejadian-kejadian dramatis dalam akhir-akhir pertandingan. Itulah keindahan sepakbola," kata-kata itulah yang selalu ditanamkan pelatih Fatih Terim kepada para pemainnya. Hasilnya, pemain Turki selalu tak ada yang mengira Turki menang melawan Swiss, semuanya mengira pertandingan berakhir 1-1. Beberapa detik jelang wasit meniup peluit, Arda Turan mengubah keadaan menjadi 2-1. Melawan Ceko, Nihat dkk sudah ketinggalan 2-0, tapi mampu berbalik menang 3-2. Dan yang paling dramatis terjadi ketika Turki melawan Kroasia di perempat final. Satu menit menjelang pertandingan berakhir, gawang Rustu dibobol Ivan Klasnic. Lagi-lagi, Turki mampu membalas lewat Semih Senturk, hingga akhirnya menang adu penalti.

Semangat pantang menyerah Turki ini, mirip dengan semangat bangsa Indonesia ketika berjuang meraih kemerdekaan atau lebih dikenal dengan Semangat 1945. Kemerdekaan Indonesia diraih dengan keringat, darah, dan airmata, bukan hadiah. Kalau cuma mengandalkan senjata yang dimiliki, sudah pasti para pejuang Indonesia dulu tidak akan mampu menandingi para penjajah. Tapi, karena Semangat 1945, Indonesia mampu mengusir penjajah, seperti yang diperlihatkan Arek-arek Suroboyo ketika melawan tentara NICA. Mudah-mudahan, Semangat 1945 akan selalu berada di darah setiap pemain Indonesia ketika berada di lapangan.

Tentu saja, bukan seperti membalikkan telapak tangan untuk menyamai Spanyol dan Turki. Postur tubuh yang tidak memadai, kalau tidak didukung teknik bermain yang baik tentu saja bohong besar. Semangat yang menyal-nyala pun membutuhkan teknik dasar bermain bola yang memadai. Postur pemain Indonesia hampir sama dengan pemain Spanyol, semangat tidak jauh berbeda dengan Turki. Yang bagaikan langit dan bumi tentu saja soal skil. Itu tidak masalah, karena skil bisa dilatih dan mental bisa diasah. Mudah-mudahan Spanyol dan Turki bisa menjadi inspirasi bagi kesebelasan Indonesia. Jadi, Indonesia bisa dong berbicara di pentas dunia? Au...ah...gelap

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More